19 September 2008

Ayo Pulang Kampung

Sepertinya orang sudah sepakat dengan ungkapan, “lebaran tidak lengkap bila tidak pulang kampung (pulkam) atau biasa disebut mudik”. Puncak kenikmatan di bulan Ramadhan ada di saat saat bertemu keluarga, famili, kerabat, teman waktu kecil dan para tetua di kampung. Jangan heran, separoh akhir bulan puasa, orang orang sudah disibukkan dengan hiruk pikuk terminal angkutan antar kota atau bus, pelabuhan kapal laut dan udara bagi yang “berdompet tebal”. Bermalam di terminal karena menunggu jadwal keberangkatan kapal, berdesakan di bus atau kereta api, terjebak macet, repot dengan bawaan karena menggunakan roda dua, jarang dihiraukan demi satu kata ‘Mudik’. Sedemikian pentingkah bagi yang punya kampung, Idul Fitri selalu dimaknai kembali ke fitrah atau kesucian diri. Bila mudik dilakukan untuk bersilaturahmi dengan julak, acil, kai, kakawanan lawas dan siapa saja yang ada di kampung halaman, tentu ini akan relevan. Sebagian kalangan berpendapat, fenomena mudik justru menjadi kebutuhan sosial, bahkan sebagai subkultur di tanah air. Sudah semestinya budaya mudik penting sebagai relasi sosial yang dilandasi keterlibatan emosi intens, misalnya hubungan sedarah atau seperguruan. Fenomena tersebut menunjukkan kampung halaman dan ikatan kekerabatan bukan penanda dari mana mereka berasal, tetapi juga memberi spirit identitas baru yang harus diwujudkan. Orang Jawa yang mengartikan "mudik" dengan naik (mudiko). Lalu secara spritual diartikan upaya menaikkan spiritualitas kita agar lebih tinggi lagi setelah sekian waktu berada dalam kehidupan kosmopolitan kehilangan spiritualitas, karena dipenuhi persaingan dan materialistis. Kita tidak hanya butuh makan dan minum, sukses menjadi pejabat atau menjadi orang kaya. Tapi perlu mudik untuk memberi sumber kekuatan mental baru. Ada waktu kita pindah ke tempat yang bisa menghilangkan kelelahan, bosan, dan jenuh serta lebih nyaman dan aman. ****

Tidak ada komentar: