30 Januari 2009

Pengusaha Tidak Sportif

Salman Harapan masyarakat datangnya perubahan pasca-penurunan harga BBM yang sudah tiga kali dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), masih menuntut kesabaran. Tarif angkutan penumpang umum Antar Kota Dalam Provinsi (ADKP) Kalimantan Selatan (Kalsel) dinilai belum mematuhi. Kendati sudah diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Kalsel Nomor 2 Tahun 2009. Pengenaan tarif penumpang umum tersebut masih berdasarkan harga premium Rp6.000/liter dan solar Rp5.500/liter atau seiring dengan kenaikan harga BBM dari semula premium Rp4.500/liter dan solar Rp4.300/liter. Pemberian uang makelar, salah satu alas an yang dibuat kalangan sopir yang dijadikan pembenaran untuk mempertahankan harga atau tarif yang sebelumnya mereka naikkan karena adanya kenaikana harga BBM. Pengusaha angkutan berdalih penurunan BBM tidak bisa jadi alasan menurunkan tarif lantaran harga suku cadang masih mahal. Alasan yang sama pernah dilontarkan pihak PLN yang berdalih penurunan harga BBM yang dilakukan pemerintah belum bepengaruh terhadap biaya produksi energi listrik dari PLN. Alhasil, tidak mau kalah, garga kebutuhan dapur seperti gula, tepung terigu, minyak goreng, bawang, seakan tidak perduli dengan keinginan banyak orang, tetap saja mengandalkan mekanisme pasar dan bergantung dengan biaya angkutan. Harusnya, pengusaha khususnya yang bergerak di bidang angkutan umum, agar bersikap sportif dengan menurunkan tarif angkutan. Karena ketika BBM naik, mereka cepat cepat melakukan penyesuaian. Sportifitas sangat diidamkan wong cilik agar kebijakan yang dilakukan SBY terasa nyata, bukan sematamata mendongkrak popularitas sang presiden dan partainya saja seperti yang dibeberkan lembaga survie. Apa yang dilakukan pengusaha terhadap sebuah aturan yang memiliki kekuatan hukum seperti Peraturan Gubernur (Pergub) Kalsel Nomor 2 Tahun 2009, sama halnya menilai haturan itu tidak memiliki taring dimata mereka. Itu artinya, pemerintah selaku yang mengeluarkan kebijakan atua dalam hal ini gubernur, harus bersikap tegas terhadap pengusaha tersebut sehingga tidak berbuat seenaknya dengan aturan yang sah. Apalagi proses pembuatan pentapan penurunan tarif itu melalui pembahasan bersama dan disepakati. Tinggal keberanian pembuat kebijakan memberi sangsi yang pantas sehingga ada efek jera. Sangsi bias saja seperti pencabutan ijin trayek atau apa saja yang menggambarkan pemerintah punya kekuasaan mengatur, bukan sebaliknya pengusaha yang memegang remote jalannya roda pemerintahan.(slm)

Tidak ada komentar: