21 Mei 2009

Perempuan Terlalu Cepat Marah, Terlalu Cepat Memaafkan

22-05-arisan.jpg SILATURRAHMI-Ketua TP PKK, Hj Hayatun Fardah dengan sejumlah istri pejabat di lingkungan Pemprov Kalsel di acara silaturrahmi dan arisan di eks Dekranasda Kalsel. (foto ist/brt) ANGKA kasus pelanggaran hak terhadap perempuan seperti tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, penganiayaan, dan sebagainya, terus menngkat dari tahun ke tahun. Secara nasional, kasus yang ditangani lembaga pengada layanan tahun 2008 lalu terjadi peningkatan jumlah kekerasan lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 yakni dari 25.522 kasus menjadi 54.425 kasus 213 persen. Kasus pelanggaran serupa pun hampir terjadi merata di berbagai negara-negara Eropa lainnya. Hal semacam itu tentu saja bisa menghambat upaya pemberdayaan peran perempuan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Tentu saja untuk menangani kasus diskriminasi jender terhadap perempuan, tidak cukup hanya lewat pengesahan konvensi dan aturan saja. Tapi memerlukan gerakan kebudayaan di kancah global dan masyarakat dunia mesti mengetahui betapa berharganya posisi kaum perempuan. Hal serupa terjadi pada perempuan di Kalimantan Selatan (Kalsel) danlebih ironis lagi, banyak kasus yang sudah dilapaorkan ke pihak berwajib, nmaun tuntas, baik lantaran kurang bukti, sampai pencabutan perkara oleh penggugat. ”Banyak ibu ibu yang mencabut gugatannya setelah melaporkan sang suami,” pemerhati perempuan, Hj Masyitah Umar pada silaturrahmi dan arisan istri pejabat dilingkungan Pemprov Kalsel, Rabu (20/5) di eks Dekranasda. Menurut dosen IAIN Antasi ini, banyaknya gugatan yang dibatalkan perempuan lantaran mereka berubah pikiran atau setelah proses hukum berjalan cukup lama. Kemarahan yang semula timbul, sudah hilang. ”Memang perempuan itu cepar marah, tapi cepat pula luluh hatinya, cepat memaafkan” ucap Ketua Alwashliyah Kalsel ini. Sipat ini lanjutnya, terkadang dimanfaatkan suami suaminya dengan membujuk rayu para istri bila sudah melakukan kesalahan. ”Kadang istrinya diajak jalan jalan, mau dibelikan apa, istrinya mau saja,” ucapnya lagi. Lebih lanjut dikatakan, faktor lain yang memicu tingginya pelanggaran hak terhadap perempuan lantaran sanksi hukum terhadap pelaku masih rendah atau tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan. Masyitah Umar mencontohkan, sanksi pidana poligami tanpa ijin pengadilan agama PP 9 tahun 1975 pasal 45 (1 dan 2) menyebutkan besarnya hukuman hanya denda setinggi-tingginya Rp 7.500. ”Kalau cuma dendanya segitu, seratus kali bapak bapak kawin lagi, juga sanggup bayar dendanya,” jelas Masyitah Umar yang berbicara dengan topik perlindungan hukum bagi perempuan, kajian peraturan/perundang undangan. Dia juga menyayangkan kondisi yangada, sementara dasar perlindungan hukum sudah lengkap seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan, dan PP Nomor 10 Tahun 1983 dan PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP 10 Tahun 1983. Kemudian UU Nomor 7 Tahun 1989 UU tentang Peradilan Agama dan Direvis menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006, Permenag Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim,Kep Menag RI Nomor 154 Tahun 1991 tentang kompilasiHukum Islam (KHI), dan UU Nomor 23 Tahun 204 tentang Penghapusan Kekuasaan dan Rumah Tangga.slm

Tidak ada komentar: